Ibadah haji pada dasarnya sama dengan
ibadah-ibadah yang lain seperti salat, puasa dan zakat, yakni sebagai fondasi
agama (rukun Islam). Semua mempunyai misi yang sama yakni terakumulasi dalam
ajaran yang selalu responsif terhadap sosial-kemanusiaan (antroposentris).
Persentase haji hanya 25% dari ajaran Islam dan itu pun hanya sebagai tiang
fondasi, belum pada substansi ajarannya. Namun, di masyarakat terkesan ibadah
haji adalah ibadah prioritas dan ibadah prestise.
Hal itu kiranya wajar karena di
tengah masyarakat awam masih ada asumsi bahwa ibadah haji adalah ibadah yang
mampu mengangkat citra sosial. Ada asumsi bahwa orang yang sudah beribadah haji
adalah orang Islam yang sempurna-kaffah. Padahal realitanya, ada orang
yang sudah berhaji, tapi salat atau zakat atau puasa wajibnya belum berjalan
dengan baik. Ini merupakan ekses dari pemahaman terhadap agama yang terlalu
mengedepankan aspek ritual dan simbol-hanya menekankan pada aspek ibadah mahdah
tanpa diimbangi secara proporsional dari dimensi keagamaan lainnya yakni
nilai-nilai kemanusiaan (humanisme).
Haji pada dasarnya merupakan
ibadah dalam keranka pelatihan bagi manusia untuk menuju kesalehan sosial
(pelatihan humanisme). Dalam bahasa sosiolog muslim Iran Ali Shariati, penuh
dengan simbol-simbol semangat kemanusiaan yang anggun dan mendasar. Hal ini
dapat dilihat dalam acara-acara ritual atau non ritualnya, kewajiban-kewajiban
atau larangan-larangannya, serta ajaran substansial maupun formalnya.
Sebut saja misalnya,
ditanggalkannya pakaian kebesaran (pakaian keseharian) seraya menggunakan
pakaian ihram (pakaian yang putih-suci) yang sederhana. Hal ini merupakan
simbol menanamkan moral dan perilaku dengan membuang sekat kaya-miskin,
ningrat-jelata, penguasa-rakyat, dan status sosial lainnya.
Egoisme keakuan lebur dalam
kekitaan, kebersamaan dan kesamaan yang hadir hanya kepada Allah (lihat Alquran
2:196, 24: 42, 22: 27). Ini juga simbol yang berfungsi pelatihan disiplin diri
dan kontrol diri, di mana benda-benda suci ditakzimkan, kehidupan
tumbuh-tumbuhan serta burung-burung sekali pun tidak boleh diganggu dan segala
sesuatunya hidup tenteram (lihat Alquran 22: 30, 22: 32, 2: 125). Dan masih
banyak lagi simbol-simbol kemanusiaan lainnya.
Di samping itu, jika kita simak
dalam tarikh (sejarah) Nabi SAW tentang substansi khotbah Nabi ketika haji
wada’ (haji perpisahan). Nabi menekankan pentingnya persamaan, mengharuskan
memelihara jiwa, harta dan penghormatan kepada orang lain, serta larangan
menindas kaum lemah baik dalam bidang ekonomi maupun bidang lainnya. Wasiat
Nabi ini mengisyaratkan pentingnya mengaktualisasikan simbol-simbol kemanusiaan
dalam ibadah haji setelah menunaikannya.
Ibadah haji merupakan pelatihan
kemanusiaan, bukan ibadah prestise yang menumbuhkan kelas tersendiri dengan
sebutan haji dan mendaftarkan diri secara resmi dalam Ikatan Persaudaraan Haji
Indonesia (IPHI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar