Jacob Vredenbregt pernah
melakukan penelitian perilaku haji di Indonesia, salah satu temuannya ada
sebagian masyarakat yang memandang haji sebagai ritus kehidupan dan transisi
pada status baru dengan dipertegas memakai nama baru atau penambahan nama dari
Mekkah.
Ini sebagaimana perilaku kelompok
santri (menurut klasifikasi Clifford Geerts) yang beranggapan ibadah haji
merupakan penutup ideal setelah pendidikan di pesantren sekaligus upaya
mengakhiri masa remaja (silakan membaca Dick Douwes dan Nico Kaptein dalam buku
Indonesia dan Haji).
Namun, tetap saja ukuran
kemabruran haji tidak dapat dilihat dari gelar haji yang disandang, tetapi dari
aktualisasi simbol-simbol kemanusiaan dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari
(Quraish Shihab: 215). Ukurannya adalan peningkatan kualitas amal shaleh
seperti kedermawanan, kerendahhatian, keadilan dan sifat-sifat kemanusiaan
lainnya setelah menunaikan ibadah haji.
Jika sifat-sifat kemanusiaan itu
tidak meningkat secara kualitatif dan kuantitatif, atau bahkan sebaliknya,
makin angkuh, sombong dan membanggakan diri, tentu saja semua pengorbanannya
untuk beribadah haji menjadi sia-sia di hadapan Allah, bahkan juga di hadapan
manusia. Apakah ini pertanda haji yang tidak diterima (haji mardud) ? Wallahu
A’lam Bishshowab.
Semoga jemaah calon haji
Indonesia benar-benar menjadi haji mabrur, sehingga menjadi spirit untuk
mengentaskan Indonesia dari krisis multidimensional yang selama ini masih
melilit. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar